- Sambut 453 Mahasiswa Baru, Unifa Gelar PKKMB 2023 dengan Tema Biondigipreneur
- Gelar Pameran Fotografi, PFI Sajikan Kisah Pagebluk di Akar Rumput
- Berhasil Menerima Beasiswa LPDP ke Inggris, Alumni Prodi Teknik Sipil Unifa Bagikan Tips Agar Lolos
- UKMF-UH Selenggarakan Pameran Fotografi Bertajuk Makkunrai
- Lebaran 2023 : Prepare & Staterpack Mudik
- Berbicara Tentang Perempuan Tidak Lepas Dari Topik Kesetaraan
- Apa Yang Dimiliki Giri dan Avisa?
- Overthinking
- WTID : Kesetaraan Gender Dapat Mengakselerasi Pertumbuhan Industri Pariwisata
- seARTi: Pentas Seni Persembahan Terakhir Peserta PMM Unifa
Resensi: Ini Bukan Revolusiku
Resensi: Ini Bukan Revolusiku
Judul : Ini Bukan Revolusiku
Penulis : Emma Goldman
Penerbit : Pustaka Catut
Tahun terbit : 2017
TENTANG PENULIS
Lahir pada 1869 di pemukiman Yahudi di Rusia, Goldman adalah anak yang tidak diharapkan dari perkawinan yang kedua dari ayahnya. Tumbuh di desa terpencil di Popelan, dengan penginapan kecil. Secara naluriah, dari kecil ia merasa jijik dengan perbudakan dan terkejut dengan kenyataan bahwa percintaan antara Yahudi dan Gentile (non-Yahudi) dianggap sebagai dosa. Pada tahun 1882 Emma dan keluarganya pindah ke kawasan pemukiman Yahudi di St. Petersburg, dan harus meninggalkan bangku sekolah dikarenakan krisis ekonomi dan terpaksa mulai bekerja di pabrik.
Emma mulai berkenalan dengan tulisan Turgenev yang berjudul Fathers and Sons (1862) saat bergabung denganpara pelajar radikal. Ia tergugah dengan definisi nihilis sebagai yang tidak mengambil prinsip apa pun dalam keyakinannya setinggi apapun nilai yang terkandung dalam prinsip tersebut. Selanjutnya ia menyimpan satu kopi dari karya Nikolai Chernyhevsky dengan judul <em>Whats is to be done?</em> (1863), karya ini menggambarkan tokohnya, seorang pemberani bernama Vera, sebagai perwujudan nihilism yang tinggal di sebuah dunia yang memiliki hubungan sederhana antara gender dan keriangan kerja bebas yang kooporatif. Buku tersebut tidak hanya menawarkan sketsa embrionik tentang anarkismenya di kemudian hari, tetapi juga determinasinya untuk menjalani hidup sesuai dengan yang dia inginkan.
Keterlibatan penuhnya untuk mengungkai tindakan radikal guna memajukan perjuangan buruh, mengantarnya bersama Berkman pada sebuah rencana pembunuhan terhadap Henry Clay Frick, dalam sebuah pemogokan buruh besi di homestead pada 1892. Berkman berhasil menyusup kekantor Frick dan menembaknya. Namun, manajer itu hanya terluka. Kendati Brekman menerima tuntutan dua puluh tahun penjara, Emma secara terbuka memaparkan dan mengajukan alasan atas usaha pembunuhan tersebut. Sejak itu pengadilan tidak hanya memutuskan reputasi anrkisme sebagai melulu kekerasan, namun juga menempatkan Emma sebagai perempuan yang harus di awasi.
Emma dalam essainya “perdagangan perempuan” menemukan sesuatu yang mencengangkan : perdagangan budak orang-orang kulit putih. Tidak hanya perempuan kulit putih, tapi juga perempuan kulit kuning dan hitam. Sebenarnya apa penyebab perdagangan perempuan bagi Emma? Eksploitasi tentu saja; setan kapitalisme yang tanpa ampun digemukkan oleh tenaga kerja yang tidak dibayar, sehingga mendorong ribuan perempuan dan gadis ke dalam prostitusi. Mereka menemukan bahwa dari dua ribu kasus yang diamati, hanya beberapa pelaku prostitusi yang datang dari kelas menengah, dari kondisi yang tertera baik, atau rumah yang menyenangkan. Sejauh ini mayoritas terbesar adalah gadis-gadis dan ibu-ibu yang bekerja ; beberapa terdorong kedalam prostitusi bukan semata-mata karena ingin, tetapi karena kekejaman orang-orang, kehidupan yang menyedihkan di rumah, beberapa orang lain karena kegagalan fisik. Dan bahwa dari dua ribu kasus, 490 diantaranya adalah perempuan yang sudah menikah, perempuan yang tinggal bersama suami mereka. Terbukti, tidak banyak jaminan untuk “ keamanan dan kemurnian” mereka dalam kesucian pernikahan.
Indonesia, perdagangan perempuan hadir dan berlangsung sejak zaman raja-raja Jawa. Raja mulai mempunyai istri di luar permasuri resmi yang dinamakan selir. Di luar selir, para raja juga menyimpan gundik, atau wanita di luar nikah. Praktik pergundikan ini merupakan adat raja-raja. Jawa, yang menyebar ke masyarakat luas. Praktik terus berlangsung hingga zaman kolonial.
Namun pada masa itu yang terjadi bukan lagi raja pergundikan dengan masyarakatnya melainkan tuan tanah dengan bawahannya Praktik pergundikan di zaman kolonial ini, kemudian melahirkan kelas dalam masyarakat yang disebut dengan istilah kaum Indo, pada abad ke-19 dan ke-20. Menurut sosiologo Koentjoro, sedikitnya, ada 11 kabupaten yang dalam sejarah dikenal sebagai pemasok perempuan untuk raja.
Di kutip dari UNICEF terkait lembar fakta tentang eksploitasi seks komersil dan perdagangan anak : di Indonesia sekalipun banyak gadis yang memalsukan, umurnya diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil wanita berumur kurang dari 18 tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada 40.000-70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak diperdagangkan tiap tahun.
Tak hanya itu, banyak mucikari yang masih berusia remaja. Akhir-akhir ini bahkan marak pemberitaan tentang artis-artis Indonesia yang juga bekerja di sektor prostitusi. Penyebaran lokalisasi di Indonesia Hingga tahun 2014, data Kemensos menyebutkan dari 161 lokalisasi di Indonesia, baru 23 di antaranya yang ditutup. Jumlah ini belum termasuk lokalisasi Kalijodo di DKI Jakarta yang dalam waktu dekat ini segera ditutup.
Emma menambahkan, bahwa sisi paling lucu dari pertanyaan saat ini adalah amarah “orang-orang baik dan terhormat” kita, terutama berbagai orang Kristen, yang selalu dapat di temukan di jajaran terdepan setiap perang salib. Apakah mereka benar-benar tahu tentang sejarah agama, dan terutama agama mereka sendiri, Kristen? Atau mereka berharap untuk membutakan generasi sekarang soal peranan yang dimainkan oleh gereja dimasa lalu dalam kaitannya di dalam prostitusi? Apapun alasan mereka, mereka akan menjadi yang terakhir untuk menangisi korban.
Emma mengakui adalah fakta bahwa perempuan dipelihira sebagai budak seks, namun dia terus saja tidak tahu soal arti dan pentingnya seks. Semuanya berurusan dengan subjek yang ditekan, dan orang-orang yang berusaha untuk membawa terang dalam kegelapan yang mengerikan ini dianiyaya dan dijebloskan ke penjara. Selama seorang gadis tidak tahu bagaimana mengurus dirinya sendiri, tidak mengetahui fungsi paling penting dari hidupnya, kita tidak perlu heran jika dia menjadi mangsa yang mudah bagi prostitusi, atau bentuk lain dari hubungan yang menurunkan dia ke posisi objek untuk kepuasan seks belaka.
“aku telah melakukan bagianku untuk membebaskan pikiran manusia dari perbudakan”
(Emma Goldman)
Penulis: Widyaningsih