Berbicara Tentang Perempuan Tidak Lepas Dari Topik Kesetaraan

By KertasOnline 21 Apr 2023, 22:43:08 WIB Opini
Berbicara Tentang Perempuan Tidak Lepas Dari Topik Kesetaraan

KERTASONLINE.COM - Dalam hiruk-pikuk perayaan Hari Kartini, seorang perempuan dari tanah Jawa yang menyuarakan keadilan bagi kaum perempuan. Pembahasan tentang perempuan tidak akan pernah habis rasanya. Mulai dari masa jahiliyah, dimana perempuan sangat hina hingga dianggap sebagai aib keluarga karena dinilai tidak berguna, dan diposisikan menjadi kelompok kelas dua yang dapat diperlakukan seenaknya. Ada juga masa ketika perempuan dijadikan budak yang dapat diperjual belikan pun tidak berhak memiliki kehidupan yang tidak lebih dari ‘pelayan’.



Sampai pada masa modern seperti sekarang ini, dimana perempuan diperlakukan sebagai manusia dan dapat memilih apa yang ingin dia jalani. Belajar tentang apapun yang ia mau dimanapun itu. Bekerja sesuai dengan minat dan bidang yang ia kuasai. Menjalin hubungan dan berumah tangga dengan siapapun tanpa paksaan. Bahkan mendapatkan hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan.

Baca Lainnya :



Lantas, apakah sampai disitu saja kesetaraan yang diinterpretasikan?



Meski mendapatkan hak untuk belajar dan bekerja bahkan memilih dan dipilih dalam kontes politik, namun kesetaraan itu hanya untuk perempuan kelas menengah keatas dan tidak diperoleh perempuan berstatus kelas menengah kebawah.



Saat bekerja pun perempuan masih sering diperlakukan dengan tidak adil. Mulai dari upah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, tidak diberi kesempatan untuk memegang posisi manajerial, sampai mendapatkan kekerasan seksual di tempat kerja.



Begitu pun perempuan yang sukses di bidang pendidikan akan kembali dicibir. Berbeda dengan laki-laki yang begitu didukung dan dielu-elukan atas kesuksesannya. Perempuan malah dihakimi dan dijudge sebagai orang yang mengutamakan ambisi dan dinilai ingin menang sendiri seakan-akan kehidupan sudah bertransformasi menjadi ajang kompetisi.



Di Indonesia, sangat terkenal ucapan “percuma sekolah tinggi tinggi, ujung-ujungnya pasti jadi ibu rumah tangga juga,” atau ”ngga usah sekolah tinggi tinggi, nanti ngga laku” atau “ngga usah capek capek kerja, ujung-ujungnya juga bakalan ke dapur, urus anak, bla bla bla…” ataupun hal serupa yang mengatakan bahwa perempuan tidak harus memiliki pendidikan maupun karir yang gemilang. Dalam ucapan itu pun tersirat akan makna, dimana cara pandang masyarakat atau konstruksi sosial membatasi peran perempuan yang hanya berkisar di sebuah ruang yang bernama lingkup domestik.



Melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring, mencuci baju, menyetrika, menyapu dan mengepel rumah seakan sudah menjadi tugas untuk pihak perempuan (ibu, istri, anak perempuan). Bahkan ada beberapa kasus dimana seorang wanita karir yang juga berperan sebagai ibu rumah tangga harus merelakan pekerjaan yang sudah mereka geluti sejak lama karena tuntutan untuk menjaga anak dan mengurus rumah tangga.



Kebanyakan perempuan akan merasa dirinya bertanggung jawab akan hal-hal yang berurusan dengan pekerjaan rumah tangga. Hal ini disebabkan karena di lingkungan kita bertumbuh dan pola asuh dari budaya patriarki yang turun-temurun membentuk pola pikir yang seksis.



Seringkali kita diajarkan, perempuan harus pandai memasak, membersihkan rumah, dan mengurus anak. Sedangkan laki-laki harus tahu bagaimana cara mencari nafkah dan menjadi pemimpin. Pembagian tugas inilah yang akhirnya terus terbawa dan menjadi budaya kemudian dijadikan patokan sebagai kodrat bagi perempuan dan laki-laki.



Apakah perempuan tidak bisa mencari nafkah? Apakah hanya laki-laki saja yang bisa menjadi pemimpin dan mengambil keputusan? Apakah laki-laki memang tidak boleh mengerjakan perkerjaan rumah seperti menyapu, mencuci, dan lainnya?



Jika R.A. Kartini menyuarakan hal ini sudah lebih dari seratus tahun lalu, maka akan dibutuhkan ratusan tahun lagi agar masyarakat dapat menimbulkan perilaku kesadaran akan kesetaraan. Begitu banyak gerakan-gerakan sosial yang menyuarakan hak-hak kesetaraan gender, ada yang beberapa mempelajari apa itu kesetaraan dan mengajarkannya kepada khalayak luas. Teknologi dan ilmu pengetahuan yang kini bekembang pesat memudahkan kita untuk lebih banyak menggaungkan dan mengajarkan apa itu keadilan dan kesetaraan. Kesetaraan bukan hanya menjadi concern bagi perempuan namun juga bagi laki-laki. Baik itu muda maupun tua. Dari berbagai tingkat status sosial, beragam ras dan warna kulit.

 


Selamat Hari Kartini.



Penulis : Raihan Khalidah




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment